[Cerpen] – Naura

Punya cerpen yang udah lama, waktu itu diikutin lomba sekitar akhir 2012 kalo gak salah, dengan tema keanekaragaman budaya Indonesia, jadi dibuat sedemikian rupa gitu deh tentang kuliner Indonesia.

Gak menang sih, gak ngarep juga. Namanya juga iseng-iseng. Diupload di sini, karena di Tumblr nanti keliatan sumpek. :))

Enjoy.

_____

Matahari dengan sombongnya menghujami kamarku dengan sinar hangatnya. Menyilaukan mata sebagai penanda bahwa hari ini aku terlambat untuk memasuki kelas pagi kuliahku, lagi.

Ibuku tak pernah tahu jadwal kuliahku, yang dia mau tahu hanyalah anaknya lulus tepat waktu. Sekarang, ia sedang berada di dapur, memasak sarapan. Tumben. Mungkin karena suasana kampung halamannya di Bandung ini ibuku menjadi lebih bahagia karena kami bertempat tinggal berdekatan dengan sanak saudara.

Ayahku tetap di Jakarta, masih memiliki tanggung jawab pekerjaan. Setiap minggu mengunjungi kami ke Bandung. Semenjak aku diterima berkuliah di ITB, Ibu menyarankan untuk kami sekeluarga untuk pindah ke Bandung, agar aku lebih dekat ke kampus dan fokus belajar, alasannya. Padahal aku sudah cukup dewasa untuk ngekos atau sekedar menumpang di rumah saudara. Mungkin ibu hanya rindu menetap di Bandung. Adikku yang baru lulus Sekolah Dasar hanya bisa menurut saja saat didaftarkan di SMP kota Bandung.

Suasana kampus siang ini sepi, hanya sebagian mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengurus administrasi. Lalu kulihat dia bangkit dari duduknya dan datang menghampiriku. Aku berlari kecil demi mempercepat matinya rinduku.

“Hey, maaf telat.” Aku melingkarkan lenganku di pinggangnya. Dia menggenggam halus tanganku. Dia yang selalu sabar menunggu dengan segala telatku. Dia yang rela menghabiskan waktunya bersamaku yang selalu terburu-buru.

Sejak bersamanya selama beberapa bulan belakangan ini, aku merasakan nyaman. Aku sendiri tak tahu tanggal berapa tepatnya mendeklarasikan cinta kami berdua. Karena kurasa menentukan tanggal jadinya sebuah hubungan itu terlalu kekanak-kanakan. Aku dan dia memiliki kesamaan dalam beberapa hal; membaca buku, nonton film, dan menikmati berbagai macam kuliner. Bermodalkan interest yang sama, aku mulai jatuh hati padanya. Melakukan hal-hal bersama dengannya. Lalu di dalam kencan yang entah keberapa, dia mengenalkan diriku pada teman-temannya sebagai pacar. Jikalau sempat aku menuliskan sebuah tweet, akan terlihat hashtag #LopeLopeDiUdara di linimasaku saat itu.

“Kamu udah makan, sayang?” Tanyanya manja. Aku tahu maksudnya, dia ingin berburu tahu Sumedang di seluruh penjuru Kota Kembang ini.

“Tadi pagi menjelang siang, sudah. Sekarang nyaris sore, sudah waktunya perut ini diisi kembali. Kemana kita pergi?” Tanpa perlu menanyakan dia sudah makan atau belum, aku mengiyakan untuk menemani kemanapun langkahnya menjejak.

“Ada rumah makan baru di sekitar Buah Batu, baliho besarnya memamerkan kelezatan sayur asam-nya, lampu merah tak cukup lama untuk menahanku melihat sambal dan lalapan segar berjejer di samping itu. Alhasil aku dimaki pengendara di belakangku.”

“Hahaha! Dasar si lapar mata. Lalu?” Aku penasaran sekaligus memancingnya.

“Ya sudah, kita jalan sekarang.” Jawabnya simpel.

“Itu saja?”

“Oh! Aku nyaris lupa, ternyata di situ dekat sekali dengan restoran Padang favoritmu.”

“Wah, kalau begitu bergegaslah! Lamban kamu!.” Jawabku antusias seraya mencubit pinggir perutnya.

Berburu kuliner merupakan hal nomor satu di dunia yang bisa kulakukan selamanya dengan dia. Rivan. Lelaki perantauan asal Minang ini memanjakan semua ketertarikanku mencicipi kuliner baru. Dia sibuk mencicipi semua tahu Sumedang dan semua masakan khas Sunda lengkap dengan sambal segarnya. Aku yang tergila-gila dengan nasi Padang dan sambal hijaunya, dikirimkan oleh Tuhan seseorang dari tanah Minang seakan berkata: “Ini jodohmu.”. KonspirasiMu luar biasa, Tuhan.

Setelah berkendara tiga puluh menit lamanya, kami pesan makanan favoritku, rendang dengan bumbu khasnya ditambah sambal hijau, dibungkus. Sekali tikungan dari situ sampailah kami di restoran Sunda yang dimaksud.

Menyenangkan rasanya membangun rumah idaman bersama dengan kekasih yang kau cintai, aku gadis yang tak muluk-muluk ketika bermimpi, aku hanya ingin rumah berlokasi strategis, yang terdapat restoran padang di sebelah rumahku, itu saja.

“Enak?” Tanyaku. Dia selalu makan seperti orang kesetanan, keringat bercucuran.

“Apa aku terlihat sedang makan makanan yang gak enak?” Dia bertanya balik.

“Sarkas-mu menyebalkan.”

“Hahaha. Enak, Naura-ku sayang. Sambalnya mantap, mentimunnya segar! Rendangmu bagaimana?”

“Bagus lah, rendangku lebih dulu menyentuh permukaan lambung, Haha!”

Handphone-nya berdering, deringan yang selalu memekakan telingaku seperti sebuah jeritan, menjengkelkan. Buru-buru dia mencuci sebelah tangannya lalu menjawab seraya menjauh dariku. Selalu.

Menit-menit membosankan yang kerap terjadi setiap kali kami bertemu. Jika dia tak cukup jauh melangkah hingga perbincangannya terdengar olehku, aku rela mencerna rendangku melalui telinga, asalkan kata-kata manis yang tak ditujukannya padaku tidak terdengar lagi.  Lalu dia akan tetap kembali padaku dengan seluruh cintanya. Pun aku tak butuh alasan apapun kecuali keberadaannya. Seakan ada perjanjian tersirat, kami tak saling membahas, justru senyum kami saling berbalas.

“Kenapa semua makanan dan sambal hijau masakan Padang ini selalu bisa menyihirmu? Setiap suapannya seakan-akan kamu pertama kali menyicipi makanan tersebut, lalu ketagihan setiap harinya.” Sambil mencolekan mentimun pada sambal terasi dia bertanya.

“Pertanyaanmu itu mirip dengan ‘Mengapa aku begitu terpesona padamu seperti saat pertama kali kita bertemu?’ padahal kita nyaris bertemu setiap hari. Itu cinta.” Tukasku.

“Luar biasa gombalnya.”

“Kamu sendiri, mau sampai kapan mencari tahu Sumedang terenak? Gak akan ada habisnya, kamu akan selalu bertemu dengan yang lebih enak lagi.”

“Aku gak mencari yang terenak, aku hanya penasaran. Jiwaku ini jiwa petualang. Seperti kebanyakan pemuda dari tanah lahirku, bawaanya merantau dan mencari tantangan baru. Lagipula di Padang akan sulit lagi bertemu tahu Sumedang.”

“Ah, andai aku bisa seperti itu. Ibuku gak mengizinkan aku tinggal seorang diri di Bandung. Malah kami sekeluarga yang pindah semua demi aku berkuliah. Mungkin akan kembali ke Jakarta setelah kita wisuda minggu depan.”

“Mungkin dia hanya cemas. Toh pengeluaran kamu lebih irit, kan?”

“Iya. Mungkin juga kebiasaan keluarga ayah dan ibu yang tak bisa jauh dengan sanak saudara dan anak-anaknya.”

Kuliahku segera tamat, besar kemungkinan tempatku tinggal akan kembali ke Jakarta.  Rivan yang selalu terlihat dewasa, berani bertanggung jawab dan cepat dalam mengambil keputusan. Dia bilang akan mencari pekerjaan di Jakarta. Namun dalam hal ini Rivan tampak bingung dan gelisah. Apakah dia merasakan apa yang aku rasakan? Aku takut kehilangannya, Tuhan.

***

Terburu-buru aku bergegas untuk sarapan. Aku akan bertemu pacarku lagi setelah 4 hari dia sibuk bekerja mencari tambahan uang yang mendadak untuk dikirim ke keluarganya.

Selamat pagi, bidadari. Sarapan apa di khayangan hari ini?”

Pesan singkatnya selalu seindah surga. Meskipun tak ada yang tahu seperti apa surga. Namun setidaknya aku bisa menerka. “Sarapan sendu melebur rindu. Menunya nasi goreng yang terbujur kaku ingin bertemu kamu.” Kubalas cepat, sebelum ibuku tersinggung tentang nasi goreng buatannya.

Selamat sarapan, kamu. Semoga bisa menahan sendu, menghindari rindu. Karena kita akan segera bertemu dalam satu putaran jam yang tertera di lenganku.”

Aku tersenyum malu memandang layar handphone-ku dan ibuku bisa bebas berasumsi bahwa nasi gorengnya lezat di lidahku. “Semoga mentari tidak cemburu lalu mati dan tetap terbit hingga siang nanti, sebab kehangatannya akan menyampaikan salam terima kasihku untukmu lelaki.”

Bergegaslah, ini sudah memasuki Waktu Indonesia Bagian Kamu.” Dia sudah tidak sabar nampaknya. Aku berhambur keluar rumah. Gerimis tak akan memperlambat langkahku.

Sopir angkutan kota sudah ku rayu agar tetap melaju. Tetap saja dia tebar pesona ke semua calon penumpangnya. Tunggu aku.”

Aku bisa menunggu, teater ini mungkin tidak. Simpan rayuanmu untukku, atau nanti kau kubuat bosan dan cemburu dengan lamunanku.”

“Tiga kali perempatan, dua kali tikungan, dan sekali lompatan. Aku akan tiba di depan hidungmu.”

“Hidungku sudah gatal untuk beradu dengan ujung hidungmu.”

“Dari hidungku, aku sudah bisa menghirup wangi tubuhmu, kamu di..” Ah itu dia!. Tanpa sempat menyelesaikan pesan singkatku, dia sudah lebih dahulu menghampiriku. Mencium keningku, lalu menggenggam jemariku.

Aku mengajaknya untuk menemaniku menyaksikan teater drama di kampus. Dia yang ngekos dekat dengan kampus sih menurut saja. Aku yang mengajak, aku sendiri yang telat.

Teater berjalan lancar, mahasiswa-mahasiswa menghayati perannya dengan baik. Sang aktor utama memerankan pujangga yang pandai berpuisi dalam sosok seorang pengembara. Cinta abadinya adalah gadis muda berparas cantik yang gemar bernyanyi.

Pengembara ini selain tampan, dia juga hebat dalam berburu. Wanita mana yang tidak meluluh pada zaman itu, ceritanya. Pengembara tampan ini awalnya memiliki cita-cita untuk memperistri wanita tercantik yang tinggal di setiap desa yang disinggahinya se-nusantara lalu membawanya pulang. Mirip cerita Patih Gadjah Mada versi hidung belang, menurutku. Namun, pengembara ini memutuskan kembali ke kampung halamannya. Disana dia justru bertemu cinta abadinya, dan rela meninggalkan semua istrinya demi wanita tersebut.

Beruntungnya wanita itu bisa mengalahkan banyak wanita-wanita lain untuk merebut hati si pengembara tampan tersebut. Andai saja aku seberuntung itu. Namun bagaimana kalau ternyata aku yang justru tersisihkan? Ah, aku selalu saja meresahkan hal-hal yang tak seharusnya terjadi.

Pertunjukan selesai disambut dengan tepuk tangan meriah para penonton. Penerangan mulai dinyalakan. Aku melirik ke sebelahku. Rivan mengerjap-ngerjap menahan silau dari cahaya lampu yang berlebihan. Namun matanya berkaca-kaca.

“Kamu nangis? Hahaha..” Godaku.

“Ah, enggak kok. Masa iya aku nangis gara-gara nonton drama?” Dia membela diri.

“Gak apa-apa kok, ngaku aja. Ceritanya juga bagus.”

Dia yang lebih dewasa tiga tahun daripada aku, kadang bisa juga terlihat seperti anak bocah yang lugu dan manja. Terkadang lucu dan menggemaskan. Sesekali ku menyuapinya makan, dia malu-malu.

“Kita udah selesai nonton teater, gimana kalau sekarang kita ke bioskop?”

“Boleh. Syaratnya harus aku yang menentukan bioskop. Aku mau ke bioskop yang dekat dengan penjual kerak telor, kamu harus mencobanya. Agak susah soalnya di Bandung mencari makanan khas Betawi ini.”

“Gak masalah. Tapi film di bioskop aku yang pilih, oke?”

“Aku juga yang pilih itu. Aku punya hadiah buat kamu kalau mau.” Untuk membuatnya menurutiku terkadang aku hanya perlu mengiming-iminginya tahu Sumedang sebagai camilannya.

“Tahu Sumedang, kamu gak memberi pilihan namanya kalau begini. Yuk deh, berangkat. Sini aku cicip dulu, aku lapar.”

Sudah lama aku tidak makan makanan khas Betawi ini. Sewaktu aku tinggal di Jakarta, dengan mudah kutemukan kerak telor di Monas, Kota Tua, atau yang terdekat di sebrang Taman Makam Pahlawan Kalibata; ada satu bapak tua langgananku di situ.

“Enak, kan? Nanti kalau kita ke Jakarta, aku ajak ke tempat favoritku juga.”

“Oke.. Tapi sepertinya aku jatuh hati dengan kuliner Jawa Barat, atau aku saja yang terlalu banyak mencintaimu?”

“Dua-duanya memiliki daya tarik sendiri. Gak nyambung.”

“Haha. Nasi timbel, sambal terasi, tahu Sumedang, karedok, dan kamu. Hari-hariku sangat keren.”

“Kapan aku bisa mencicipi rendang buatan bundamu yang kamu banggakan itu?”

Wajahnya berubah datar. Dan aku tahu pasti jawaban yang keluar setelahnya..

“Kapan-kapan ya. Film sudah mau dimulai, mari.”

Digenggamnya tanganku selama film berlangsung. Di pundaknya ku sandarkan kepalaku. Semua terasa hangat dan nyaman. Hingga pada akhirnya sebuah dering panggilan masuk dari handphone Rivan menjerit menjengkelkan lagi. Cepat-cepat dia angkat karena panik, dan pelan-pelan membisikkan sesuatu kepada lawan bicaranya di sana dengan lembut.

Volume bioskop kurang cukup kencang, aku ingin dibuat tuli rasanya.

Lalu dia kembali menggenggam lembut jemariku, dan tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. Sulit rasanya menyembunyikan rasa kecewa, aku menolak melemparkan senyumku.

Film nyaris usai. Kali ini handphone-nya kembali bergetar. Memporak porandakan kesabaranku. Gempa skala besar dalam ukuran meruntuhkan pertahanan hatiku. Dilepasnya tanganku perlahan, seperti prasasti antik kerajaan Majapahit yang sudah rapuh. Dikecupnya keningku.

“Sebentar ya, sayang, aku jawab telepon dulu.” Kemudian berlalu lah dia di melalui pintu yang bertuliskan ‘Exit’. Film telah usai. Sudah dua menit aku tidak bergeming dari tempat dudukku, penonton terakhir yang bangkunya enggan dibersihkan.

Kemudian dia kembali dan berjalan lunglai ke arahku. Tak kulihat lagi senyumnya seperti biasa. Kedua matanya mengilat. Tenggorokanku tercekat.

Dia yang tak pernah ingin terlihat menangis di depan siapapun, menitikan bulir-bulir air mata. Tak sanggup ku cerna lagi keadaan macam apa yang sedang kuhadapi saat ini. Aku tetap tak ingin membahas atau tak mau tahu perbincangan apa yang dilakukannya barusan. Yang aku tahu hanyalah dia selalu kembali padaku setelah dia menjawab telepon itu, dan saling tersenyum.

“Naura, Aku harus pulang ke Padang. Dan sepertinya takkan kembali lagi.”

Dengkulku lemas. Ingin rasanya ku bertanya mengapa secepat ini dia pergi. Apakah ini semua gara-gara orang ketiga itu? Mengapa bisa-bisanya kamu jatuh cinta pada orang ketiga. Maksudku, mengapa orang ketiga itu ternyata aku? Belum sempat aku bertanya, dia sudah menjawab, jawaban yang takkan berani ku bantah.”

“Istriku, sakit keras.”

Air mata yang sedari tadi ku bendung di sudut-sudut mata. Tumpah tak beraturan.

3 thoughts on “[Cerpen] – Naura

Leave a comment