Do you live your ideal life?

What is your ideal/dream life? 

Scrap it, what is life, exactly?

Secara pragmatis hidup itu bisa dirangkum dengan: kita lahir, dibesarkan, sekolah yang tinggi, cari kerja, berkeluarga, pensiun, lalu mati. Pragmatisme ini udah tertanam semenjak kita belia, oleh guru-guru kita, oleh orangtua kita.

Pragmatis adalah bersikap dan berpikir secara praktis tanpa mengindahkan faktor-faktor/pertimbangan-pertimbangan lain yang mungkin terjadi dalam suatu proses berpikir. Misalnya: “sekolah yang bener, biar dapet kerjaan bagus”, “belajar ini, jangan belajar itu”, “kalo udah dapet kerja di perusahaan yang itu, langsung nikah aja biar aman”.

Terus gimana dengan hobi? Gimana dengan keinginan untuk memberikan dampak sosial? Aktivis kemanusiaan juga bisa dianggap pengangguran, karena gak kerja dengan kemeja di dalam gedung perkantoran. Atau gimana kalau nggak mau kerja di Kementrian atau perusahaan BUMN atau di bank?

Nyatanya gak ada yang praktis di dunia ini. Semua rumit. 

Segalanya yang praktis, ujung-ujungnya jadi rumit. Misal: kita terlahir di dunia secara acak sudah ditentukan orangtuanya, langsung ditentukan kebangsaannya, dan otomatis memeluk kepercayaan orangtuanya.  Praktis, kan?

Tapi rumit.

Kita sebagai bayi berumur semenit saja bisa tahu tangan-tangan yang menggendong kita ketika proses persalinan selesai; apakah dokter kandungan di Jakarta Selatan, atau sekadar bidan dusun. Sebagai bayi, gak heran kita nangis ketika tahu orangtua kita kismin.

Kita juga pasrah,kalau ternyata kita lahir di belahan bumi yang sedang berkonflik. Bukan turun di sudut bumi lainnya, di mana kesempatan-kesempatan duniawi lebih memanjakan. Miskinnya orang-orang Singapura tentu berbeda dengan orang-orang miskin di Syria dong.

Begitu kita mendewasa, agama kita pun (kebanyakan) telah terlanjur ditanamkan oleh orangtua kita. Kalau diberi kesempatan untuk melakukan proses pencarian Tuhan barang sebentar saja sudah dituduh murtad. Kita harus nurut.

Apanya yang praktis?

Gak ada.

Tapi layaknya sebuah petuah klasik nan basi bahwa hidup itu adalah pilihan. Kita bisa memilih untuk memilih kepraktisan yang paling nggak rumit, atau kerumitan yang masih memiliki nilai praktis, atau bahkan kerumitan yang gak praktis sama sekali but we choose it anyway just to prove ourself what we are capable of. Misalnya: jatuh cinta beda agama.

Leave a comment